Mertayani merupakan putri sulung almarhum I Nengah Sangkrib dan Ni Nengah Sirem. Sejak ayahnya meninggal, Mertayani tinggal bersama ibunya Ni Nengah Sirem dan adiknya Ni Made Jati. Sejak itu pula, tiga wanita ini berjuang untuk melanjutkan hidupnya dari hari ke hari dengan berjualan atau mencari barang rongsokan.
Aktivitas ini sama sekali tak pernah terbersit dalam benak Mertayani untuk dilakoni. Namun ketabahan ibunya dalam menjalani itu semua membuat Mertayani cuek terhadap cibiran di sekelilingnya. Dan siapa menyangka, dari aktivitas mengasong dan mencari barang rongsokan, Mertayani justru kenal dengan para wisatawan. Termasuk Mrs Dolly Amarhoseija yang meminjamkan kamera digital serta mengajarkan Mertayani cara membidikannya.
Sulung dari dua bersaudara ini memang berasal dari keluarga miskin. Ibunya, I Nengah Kirem, 52 tahun, sudah bertahun menderita ginjal dan ha-rus bekerja serabutan. Ayah Wayan telah meninggal. Mereka tinggal di gubuk berdinding bilik bambu dengan satu kamar tidur.
Untuk menopang kehidupan, tiap sore hingga gelap menyergap, pelajar kelas HI SMP Negeri 2 Abang, Karangasem, itu berjualan kue jajanan di Pantai Kadang. Jika dagangannya laku, dia bisa memperoleh pendapatan hingga Rp 50 ribu. Tapi lebih sering dia rugi karena banyak yang tidak bayar. “Atau kalau tak habis saya makan sendiri, jadi ya rugi,” ujar Wayan tersipu.
Dia mengaku punya puluhan ayam dan bebek serta beberapa ekor kambing. Ayam-ayamnya pun dibiarkan berkeliaran tak dikandangkan. Terkadang Wayan harus menyabit rumput untuk memben makan kambingnya sebelum berjualan. Namun, di sela kehidupan keras yang dilaluinya, Wayan biasa meluangkan waktu dengan membaca di perpustakaan milik Marie Johana Fardan, tetangganya yang warga Belanda pemilik vila Sinar Cinta di Pantai Amed.
Sudah dua tahun dia menjadi langganan tetap perpustakaan. Dia menyukai buku Anne Frank itu,” ujar Marie. Dan bisa dikatakan alur hidup Mertayani hampir mirip Anne Frank. Sama-sama hidup dalam tekanan, tapi penuh harapan dan cita-cita. Dan, ternyata Mertayani pun mengagumi Anne Frank setelah membaca bukunya yang sesungguhnya sebuah diary.
Ada kemiripan hidup antara Mertayani dan Anne Frank. Sama-sama ditekan dalam sebuah kondisi yang begitu menyulitkan. Bedanya, Anne yang keturunan Yahudi besar di bawah tekanan tentara Nazi pada masa itu, sementara Mertayani besar di bawah tekanan ekonomi.
Kondisi ekonomi yang sangat sulit memaksa Mertayani harus dewasa di usianya yang masih 14 tahun. Mertayani sendiri mengaku kagum dengan sosok Anne Frank. Sosok belia ini penuh dengan harapan dan cita-cita meski kenyataannya hidup dibawah tekanan. “Saya mulai mengaguminya (Anne Frank,Red) sejak membaca buku-bukunya,” kata Mertayani. Dari bacaan itu juga, Mertayani seperti mendapat sokongan semangat bahwa hidup itu memang harus dijalani. Suka duka harus diarungi tanpa harus menanggalkan cita-cita atau harapan. Soal cita-cita, Mertayani sendiri mengaku hendak menjadi wartawan.
Meski hidup serba kekurangan, ada satu hal yang selalu diajarkan Sirem kepada dua orang puterinya yakni “keikhlasan”. Karena itulah rumah Mertayani kerap didatangi para wisatawan. Bahkan, sampai ada yang menginap dan Sirem harus menyediakan makanan dengan memotong beberapa ekor ayam peliharaannya.
”Tempo hari ada tamu cewek-cewek dari Italia. Mereka menginap di sini. Mereka nggak keberatan tidur di atas bale. Karena tempat tidur yang kami punya memang hanya itu saja,” pungkas Sirem.
Dengan prestasi yang diperoleh Mertayani, Sirem kini tambah semangat. Apa yang dia yakini dan lakukan selama ini ternyata tidak sia-sia. Dia pun berharap, anaknya itu bisa mewujudkan apa yang menjadi cita-citanya.
Dari kamera digital yang dipinjamkan oleh Mrs.Dolly, dia kemudian membuat 15 foto dengan kamera itu. Jepretan terakhirnya adalah sebuah potret pohon ubi karet dengan dahan tanpa daun yang tumbuh di depan rumahnya. Seekor ayam bertengger di salah satu dahan, serta handuk berwarna merah jambu dan baju keseharian yang dijemur di bawahnya.
Melalui foto ini juga Wayan dan adiknya, Ni Nengah Jati, bisa terbang ke Belanda.
Ternyata, foto sederhana itu telah memikat 12 fotografer kelas dunia dari World Press Photo yang menjadi juri lomba foto internasional 2009, yang digelar Yayasan Anne Frank di Belanda. Tema lomba yang yang diikuti 200 peserta itu adalah “Apa Harapan Terbesarmu?” Wayan menjelaskan, ayam itu simbolisasi diri dan kehidupannya. “Ayam itu kalau panas kepanasan, hujan kehujanan. Sama seperti saya,” ujarnya. Negeri Kincir Angin menjadi tempat pertama Wayan mengenal dunia di luar bahkan Wayan mengaku senang bisa menjejakkan kaki di Belanda,
Dari Yayasan Anne Frank juga, Wayan menerima hadiah berupa kamera saku dan sebuah komputer jinjing dari Radio Netherlands Wereldomroep. Rencananya, jika Yayasan Anne Frank mengadakan acara di Bali, dia akan diundang untuk memamerkan foto-fotonya. Radio Netherlands juga menawarkan tempat untuk Wayan mengirim cerita pendek atau tulisan-tulisannya untuk disiarkan.
Wayan berharap bisa menyelesaikan sekolah dan mewujudkan cita-citanya menjadi jumalis. Sepulangnya dari Belanda, ia mendapat kabar gembira berupa kelulusannya dari ujian nasional. “Saya ingin membahagiakan ibu saya,” ujarnya sendu. Dia sangat sadar kemiskinan mengancam kelanjutan pendidikannya. “Anne Frank lebih susah hidupnya”. Jika dia tak mengeluh, “saya juga seharusnya tidak,” ujarnya kemudian.
REFERENSI : - http://bataviase.co.id/node/213068
- http://www.indonesiaberprestasi.web.id/?p=5411
0 komentar:
Posting Komentar